Wednesday 26 October 2011

Biografi Ir. Soekarno



Ir. Soekarno (6 Juni 1901-21 Juni 1970) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.

Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.

Latar belakang dan pendidikan
Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali .

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur. Pada usia 14 tahun, seorang kawan bapaknya yang bernama Oemar Said Tjokroaminoto mengajak Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.) di sana sambil mengaji di tempat Tjokroaminoto. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu. Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa).

Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Keluarga Soekarno
Istri Soekarno
* Oetari (1921-1923)
* Inggit Garnasih (1923-1943)
* Fatmawati (1943-1956)
* Hartini (1952-1970)
* Kartini Manoppo (1959-1968)
* Ratna Sari Dewi Soekarno : nama asli Naoko Nemoto (1962-1970)
* Haryati (1963-1966)
* Yurike Sanger (1964-1968)
* heldy Djafar (1966-1969)

Putra-putri Soekarno
* Guruh Soekarnoputra
* Megawati Soekarnoputri, Presiden Indonesia masa jabatan 2001-2004
* Guntur Soekarnoputra
* Rachmawati
* Sukmawati
* Taufan dan Bayu (dari istri Hartini)
* Totok Suryawan (dari istri Kartini Manoppo)
* Kartika Sari Dewi Soekarno (dari istri Ratna Sari Dewi Soekarno)

Masa pergerakan nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.

Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hassan.

Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu. Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.

Masa penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk "mengamankan" keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.

Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.

Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.

Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, diantaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.

Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.

Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.

Masa Perang Revolusi
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan tanggal 17 Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan tanggal turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.

Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.

Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.

Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.

Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.

Masa kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.

Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai "kabinet semumur jagung" membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai "penyakit kepartaian". Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.

Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat "bom waktu" yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang merubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.

Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRT).

Masa-masa kejatuhan Soekarno dimulai sejak ia "bercerai" dengan Wakil Presiden Moh. Hatta, pada tahun 1956, akibat pengunduran diri Hatta dari kancah perpolitikan Indonesia. Ditambah dengan sejumlah pemberontakan separatis yang terjadi di seluruh pelosok Indonesia, dan puncaknya, pemberontakan G 30 S, membuat Soekarno di dalam masa jabatannya tidak dapat "memenuhi" cita-cita bangsa Indonesia yang makmur dan sejahtera.

Sakit hingga meninggal
Soekarno sendiri wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Wisma Yaso, Jakarta, setelah mengalami pengucilan oleh penggantinya Soeharto. Jenazahnya dikebumikan di Kota Blitar, Jawa Timur, dan kini menjadi ikon kota tersebut, karena setiap tahunnya dikunjungi ratusan ribu hingga jutaan wisatawan dari seluruh penjuru dunia. Terutama pada saat penyelenggaraan Haul Bung Karno.

Peninggalan
Pada tanggal 19 Juni 2008, Pemerintah Kuba menerbitkan perangko yang bergambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan "kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba".

Penamaan
Nama lengkap Soekarno ketika lahir adalah Kusno Sosrodihardjo. Ketika masih kecil, karena sering sakit-sakitan, menurut kebiasaan orang Jawa[rujukan?]; oleh orang tuanya namanya diganti menjadi Soekarno[rujukan?]. Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda)[rujukan?]. Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah[rujukan?]. Sebutan akrab untuk Ir. Soekarno adalah Bung Karno.

Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, "Siapa nama kecil Soekarno?" karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji.

Dan dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.

Tuesday 18 October 2011

Lemahnya Amandemen UUD 1945


Konstitusi (UUD 1945, amandemen 1,2,3 dan 4) tidak lagi dapat dijadikan rujukan konstitusional, dikarenakan ratifikasi yang cenderung tergesa-gesa sehingga undang-undang dasar belum memiliki mekanisme atau sistem check and balance (pengawasan dan keseimbangan) antar lembaga negara yang ada. Terlebih lagi dilakukannya amandemen besar-besaran terhadap UUD 1945 secara berturut-turut dan tuntas pada tahun 2002, membuat UUD bukan lagi disebut amandemen melainkan membuat UUD baru yaitu UUD Tahun 2002.
Dalam hasil amandemen tersebut terdapat beberapa pasal yang ambigu (dapat ditafsirkan lebih dari satu tafsir) dan amandemen UUD 1945 terlalu banyak memuat atribusi kewenangan untuk mengatur hal-hal penting yang diberikan kepada lembaga legislatif. Maka kurang baiknya pengaturan perimbangan kekuasaan presiden dan DPR. Karena adanya upaya penipisan kekuasaan presiden yang sebelumnya dianggap terlalu besar menebalkan kekuasaan DPR yang tidak semua diperlukan. Misalnya, memberi pertimbangan bagi pelaksanaan prerogatif presiden, mewajibkan presiden meminta persetujuan DPR sebelum menerima duta besar negara asing, dan membuat perjanjian internasional tertentu. DPR dimungkinkan ”menjatuhkan” presiden lewat mekanisme (Pasal 7 A, B amandemen ketiga) dan pada saat yang sama ditegaskan bahwa presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR (Pasal 7 C, amandemen ketiga).
Presiden yang terikat sumpah memegang teguh UUD dan segala UU justru bisa dihadapkan pada dilema sehubungan dengan kewajibannya menjalankan UU (yang tetap berlaku sekalipun tidak disahkan presiden) dan mungkin tidak menguntungkannya secara politis.
Walau sedikit banyak disebabkan juga oleh keyakinan politik presiden sendiri untuk mengundang partai-partai politik dalam koalisi di parlemen dan di pemerintahan (yang kemudian lebih sering dirasakan sebagai sandera dalam gaya pemerintahan parlementer), buruknya desain perimbangan kekuasaan itu pula yang berdampak negatif terhadap kemangkusan pemerintahan presidensial yang dipimpinnya.
Selain itu, ketika kedaulatan ditegaskan ”berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”, pertanyaannya adalah siapa yang harus melaksanakan?
Dalam praktik kenegaraan berikutnya, yang lebih tampil adalah kesan bahwa desain seperti itu sesungguhnya memang diarahkan untuk menggeser kekuasaan negara kepada DPR. Tiadanya batasan pengertian dan lingkup fungsi pengawasan mendorong kecenderungan DPR menggunakannya dalam teknis operasional yang lebih luas.
Sehingga amandemen  UUD 1945 tersebut telah melahirkan ketidakpastian dan menjadi dasar terjadinya berbagai penyimpangan di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hukum dan hankam dalam penyelenggaraan Negara. Serta penerapannya yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Bahkan telah menimbulkan gejolak dan rasa tidak puas masyarakat terhadap lembaga negara.
Contoh konkret hasil amandemen yang menimbulkan ketidakpastian dalam penyelenggaraan negara dan perubahan yang mendasar mengenai sistem ketatanegaraan, dilihat dari segi prinsip, fungsi dan struktur, antara lain adalah:
MPR–RI
Diubahnya status MPR-RI yang dahulu sebagai Lembaga Tertinggi Negara dan sekarang menjadi Lembaga Tinggi Negara. Kini timbul permasalahan ketika ada hasil pemilihan umum langsung tentang Presiden, apakah MPR masih berwenang melantik Presiden? Sedangkan Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan MPR bukan lagi Lembaga Tertinggi Negara. Sekarangpun fungsi MPR lebih bersifat sebagai lembaga dekoratif demokrasi yang tidak efektif karena tidak memiliki status dan kewenangan yang jelas. Perubahan struktur ini telah mengubah sistem demokrasi perwakilan menjadi sistem demokrasi langsung. Bahkan sistem demokrasi yang mendasarkan pada musyawarah untuk mufakat, telah didominasi oleh sistem liberal dengan mengutamakan pemungutan suara melalui one man one vote. Sebuah sistem yang bersumber pada falsafah individualisme dan liberalisme.
Dalam Undang-undang juga terdapat beberapa pasal yang hanya dibuat tetapi tidak diterapkan dalam kehidupan, yaitu:
-      Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen keempat disebutkan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
-     Pasal 31 UUD 1945
-     Perlindungan hak-hak anak juga diatur dalam sejumlah undang-undang yang terkait yaitu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Yang dalam kenyataannya jumlah anak terlantar dan anak jalanan semakin banyak dan implementasi peraturan perundang-undangan tersebut terhadap perlindungan hak-hak anak belum diterapkan sebagaimana mestinya, baik terhadap anak terlantar di panti asuhan maupun terhadap anak terlantar yang turun ke jalan untuk mencari uang dengan cara meminta-minta, tukang asongan, tukang semir sepatu, untuk memenuhi nafkah orang tuanya dan untuk biaya hidupnya. Padahal dalam Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen kedua disebutkan "setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi". Hal ini jelas terlihat undang-undang belum dapat merealisasikan secara nyata isi undang-undang tersebut dan belum dapat memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak sebagaimana seharusnya. hambatan-hambatan dan sebab-sebab yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak, dan peran pemerintah kota maupun daerah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak terhadap hak-hak anak.
Mencermati problem dan dinamika di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa adanya perubahan UUD 1945 tidak merubah Indonesia kearah yang lebih baik melainkan kearah yang lebih buruk. Adanya amandemen malah mempertegas bahwa UU dirubah bukan untuk kepentingan rakyat melainkan kepentingan golongan tertentu. Dan pemerintah selaku kepala negara belum bisa merubah Indonesia kearah yang lebih baik yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia dan memberi keadilan yang nyata untuk rakyat Indonesia.

Saturday 15 October 2011

Berlakunya KUH Perdata di Indonesia (BURGERLIJK WETBOEK)


Tahun 1839, satu tahun sejak berlakunya Burgerlijk Wetboek (BW) di Belanda, Raja Belanda membentuk panitia yang diketuai oleh Mr. Paul Scholten seorang sarjana hukum Belanda, untuk memikirkan bagaimana caranya agar kodifikasi di negara Belanda dapat pula dipakai untuk daerah jajahan, yaitu Hindia Belanda (Indonesia).

Setelah panitia Scholten ini bubar, Presiden Hooggerechtshof (HGH) atau MA di Hindia Belanda, waktu itu Mr. H.L. Wichers, ditugaskan membantu Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberlakukan Kitab Hukum yang baru itu, sambil memikirkan pasal-pasal yang mungkin masih perlu diadakan. Semua peraturan yang telah dirumuskan tersebut kemudian dengan Pengumuman Gubjen Hindia Belanda tanggal 3 Desember 1847, dinyatakan berlaku mulai pada 1 Mei 1848 di Hindia Belanda (Indonesia). Pemberlakuan tersebut berdasarkan azas konkordansi (concordantie beginsel) yang diatur dalam Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) S. 1925 - 557, yang mengemukakan bahwa bagi setiap orang Eropa yang ada di Hindia Belanda diberlakukan hukum perdata yang berlaku di Belanda.

Berdasarkan S. 1847 - 23, BW (KUH Perdata) di Indonesia hanya berlaku
  1. Orang-orang Eropa, yang meliputi : orang Belanda; orang yang berasal dari Eropa lainnya; orang Jepang, AS, Kanada, Afrika Selatan, dan Australia beserta anak-anak mereka.
  2. Orang-orang yang dipersamakan dengan orang Eropa, yakni mereka yang pada saat BW berlaku memeluk agama Kristen.
  3. Orang-orang Bumiputra turunan Eropa.

Kemudian berdasarkan S. 1917 - 12 (mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1917) kepada golongan Bumiputra dan golongan Timur Asing, dengan sukarela dapat menundukkan dirinya kepada BW (dan KUH Dagang) baik sebagian maupun untuk seluruhnya. Berdasarkan azas konkordansi, maka kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia.

Dengan demikian anasir-anasir/unsur-unsur KUH Perdata Indonesia berasal dari :
ü hukum Romawi,
ü hukum Prancis kuno, dan
ü hukum Belanda kuno.

BW di negara Belanda sendiri sejak tahun 1838, telah beberapa kali mengalami perubahan dan saat ini BW yang berlaku di negara Belanda sendiri adalah BW yang baru (telah diperbaharui).

Pada zaman Jepang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 atau 2602 Pasal 3 disebutkan bahwa : "Semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum, dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah bala tentara Jepang".

Sesudah Jepang menyerah kepada sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, maka berlakulah tatanan hukum negara RI, walaupun tatanan tersebut sebagian besar masih merupakan peninggalan Hindia Belanda. Berlakunya tatanan seperti itu adalah berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menentukan : "Semua peraturan yang ada hingga saat Indonesia merdeka masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang ini". Kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah nomor 2 tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Kemudian diikuti Pasal 192 Konstitusi RIS, dan Pasal 142 UUDS 1950.

BW yang berlaku di Indonesia sejak 1848 itu merupakan produk pemerintah kolonial Belanda, karena itu sudah barang tentu dibuat berdasarkan azas-azas dan kepentingan Belanda sendiri. Apabila ada azas-azas dalam BW itu yang berbeda dengan asas dan kepentingan bangsa Indonesia sendiri, maka hal itu sudah sepantasnya.

Azas-azas dalam KUH Perdata yang kurang sesuai dengan nilai-nilai Indonesia tersebut adalah:
  1. Adanya anggapan yang individualistis terhadap hak eigendoom (Pasal 570)
  2. Adanya ketidakmampuan bertindak bagi wanita yang bersuami dalam lapangan hukum kekayaan (Pasal 108 & 110 jo 1330)
  3. Adanya kebebasan untuk mengadakan kontrak (Pasal 1338)
  4. Adanya asas monogami mutlak dalam perkawinan (Pasal 27)
  5. Adanya sifat netral/sekuler/keduniawian pada hukum perdata (Pasal 26).

Manfaat mempelajari sejarah KUH Perdata (BW) adalah dengan mengetahui bila dan bagaimana cara diberlakukannya BW itu di Indonesia, dan bagaimana pula kedudukannya dalam tatanan hukum kita, kita akan dapat mengetahui latar belakang politik dan kepentingan Belanda menerapkan BW itu di Indonesia. Dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan apakah BW itu masih sesuai atau tidak dengan iklim negara kita yang merdeka.


KEDUDUKAN KUH PERDATA SEKARANG INI
BW (KUH Perdata) oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di Belanda dan diperlakukan pertama-tama bagi orang-orang Belanda yang ada di Indonesia.

Kemudian setelah kita merdeka, dan juga sebelumnya, BW itu dirasakan kurang sesuai dengan nilai-nilai atau unsur-unsur yang melekat pada kepriba-dian Indonesia. Kemudian timbul gagasan baru menganggap BW itu hanya sebagai pedoman. Gagasan ini diajukan oleh Menteri Kehakiman, Sahardjo, SH pada sidang Badan Perancang dari Lembaga Pembina Hukum Nasional bulan Mei 1962. Dengan gagasan ini, penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengenyampingkan beberapa pasal dari BW yang tidak sesuai.

Lebih lanjut Wirjono Prodjodikoro mengatakan agar BW sebagai pedoman juga agar dihilangkan sama sekali dari bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang melainkan secara suatu pernyataan resmi dari pemerintah atau dari Mahkamah Agung. Ternyata gagasan tentang kedudukan KUH Perdata ini disetujui oleh MA dan juga oleh para sarjana, sehingga dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Pengadilan Negeri dan Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia agar beberapa pasal tertentu dari KUH Perdata dianggap tidak berlaku lagi.

Adapun pasal-pasal KUH Perdata yang dianggap tidak berlaku berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 tersebut adalah :
  1. Pasal 108 dan 110 tentang kewenangan isteri melakukan perbuatan hukum dan menghadap di muka Pengadilan. 
  2. Pasal 284 ayat 3 mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli. Dengan demikian, pengakuan anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua WNI. 
  3. Pasal 1682 yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris. Dengan demikian penghibahan diantara semua WNI juga dapat dilakukan dengan akta hibah dibawah tangan. 
  4. Pasal 1579 yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, si pemilik dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, akan memakai sendiri barangnya. Saat ini dapat terjadi apabila pada waktu membentuk perjanjian sewa-menyewa telah disepakati. 
  5. Pasal 1238 yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan didahului dengan suatu penagihan tertulis, melainkan dapat dilakukan secara lisan. 
  6. Pasal 1460 menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggungan si pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan. Jadi risiko dalam jual beli ditangan pembeli. Dengan tidak berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang-barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan, harus dibagi antara kedua belah pihak, yaitu si penjual dan si pembeli. 
  7. Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan.

Bertolak dari pendapat dan uraian di atas, maka dewasa ini kedudukan KUH Perdata di Indonesia hanya merupakan rechtboek (buku hukum), bukan sebagai wetboek (buku Undang-undang). Oleh karenanya, berlakunya KUH Perdata hanya sebagai pedoman saja. Sehingga biasa juga dikatakan KUH Perdata itu hanya suatu ketentuan yang tidak tertulis tetapi tertulis. Walaupun kenyataannya guna mengatasi kevacuuman (mengisi kekosongan dalam hukum) adanya ketentuan KUH Perdata itu secara a priori harus diberlakukan secara memaksa (dwingenrecht). Namun apabila ditinjau secara yuridis formil, KUH Perdata masih tetap sebagai hukum positif karena sampai pada saat ini belum ada undang-undang dan peraturan resmi mencabutnya.

Saat ini ada UU yang mempengaruhi berlakunya KUH Perdata, yaitu a.l. : 
  1. Undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan " Buku Ke-II KUH Perdata dicabut, sepanjang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya UU ini". 
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, misalnya isteri dapat bertindak secara hukum (Pasal 31 ayat 2) dewasa adalah mereka yang telah mencapai usia 18 tahun (Pasal 47 jo 50). 
  3. Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan tidak ada diskriminasi dalam ketenagakerjaan. 
  4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan; menyatakan tidak berlaku peraturan hipotik terhadap hak atas tanah yang diatur dalam buku II KUH Perdata.

Dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 membawa konsekuensi berlakunya pasal-pasal KUH Perdata :
  • Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh, karena tidak mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya : Pasal 505, 509 - 518, 612, 613, 826, 827, 830 - 1130, 1131 - 1149, 1150 - 1160 KUH Perdata.
  • Ada pasal-pasal yang menjadi tidak berlaku lagi, yaitu pasal yang melulu mengatur mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Misalnya : 
           a. Pasal tentang benda tak bergerak yang hanya berhubungan dengan hak-hak atas tanah;
           b. Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah.
           c. Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak.
           d. Pasal 625 - 672, 673, 674 - 710, 711 - 719, 720 - 736, 737 - 755 KUH Perdata. 
  • Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidak berlaku lagi dan masih berlaku sepanjang mengenai benda-benda lainnya, misalnya:
           - Pasal-pasal tentang benda umumnya
           - Pasal 503-505, 529-568, 570, 756, 818 KUH Perdata.

 
Dejuridische | Google | Jadwal Bioskop Terbaru | Wikipedia